Lensanusantara.my.id-SERANG – Proyek pembuatan website desa di Kabupaten Serang menuai kontroversi setelah Direktur PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB), Mashudi, mengklaim sebagai inisiator program tersebut. Dugaan intervensi pihak swasta dalam kebijakan pemerintahan desa pun semakin mencuat.
Dalam pernyataannya yang dikutip dari media online TirtaNews.co.id pada Selasa (18/2/2025), Mashudi mengungkapkan bahwa pihaknya meminta Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Serang untuk membuat penawaran kepada desa-desa.
“Kita yang menginisiasi program ini, dan kita juga yang meminta DPMD untuk membuat penawaran ke desa. Sebab, kalau harus mendatangi setiap desa satu per satu, tentu tidak efektif. Maka dari itu, kami bersurat ke DPMD agar mengumpulkan kepala desa untuk sosialisasi program,” ujarnya.
Pernyataan tersebut menimbulkan kesan bahwa PT WSMB memiliki pengaruh besar dalam mendorong DPMD untuk mempromosikan program pembuatan website desa, yang menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan independensi kebijakan.
Indikasi Intervensi Swasta dan Penyalahgunaan Wewenang
Ketua Forum Mahasiswa Anti Tertindas (FORMAT) Banten, Saipul Arifin, menyoroti adanya dugaan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dalam proyek ini.
“Mashudi secara terang-terangan mengakui bahwa PT WSMB meminta DPMD Kabupaten Serang untuk membuat penawaran kepada desa-desa. Langkah ini memperlihatkan adanya intervensi langsung dari pihak swasta dalam kebijakan pemerintahan desa, yang seharusnya melalui proses lelang terbuka dan kompetitif,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa sejak awal proyek ini sudah terindikasi dikondisikan untuk menguntungkan pihak tertentu. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya kewajiban bagi desa-desa untuk menggunakan jasa PT WSMB tanpa opsi vendor lain.
Biaya Fantastis, Tidak Sesuai Standar Pasar
Salah satu poin yang paling disoroti adalah biaya pembuatan website desa yang mencapai Rp 97 juta per desa. Mashudi membantah adanya markup harga, namun angka tersebut dinilai tidak wajar jika dibandingkan dengan standar biaya pembuatan website pada umumnya.
Lebih mencurigakan lagi, pembayaran proyek dilakukan dalam dua tahap:
1. Tahap pertama: Desa harus membayar Rp 37 juta.
2. Tahap kedua: Pelunasan sebesar Rp 55 juta, tetapi website belum dapat diakses sepenuhnya sebelum tahap ini dibayarkan.
“Skema pembayaran seperti ini menunjukkan indikasi adanya tekanan kepada desa-desa untuk mengikuti program tanpa kepastian manfaat yang jelas,” ujar Saipul.
Selain itu, tidak semua desa mendapatkan manfaat yang dijanjikan. Sejumlah kepala desa mengeluhkan sulitnya mengakses layanan yang ditawarkan, bahkan beberapa desa memilih membuat website sendiri dengan biaya yang jauh lebih rendah.
Keamanan Data Dipertanyakan
Mashudi juga menyebutkan bahwa website desa mencakup layanan administrasi surat-menyurat dan database kependudukan. Namun, ia mengakui bahwa sistem pengelolaan data kependudukan dalam proyek ini tidak mendapatkan izin dari Kementerian Dalam Negeri.
“Lalu, mengapa proyek ini tetap dipaksakan tanpa kepastian hukum? Apakah ini hanya akal-akalan untuk mengalihkan perhatian dari dugaan praktik korupsi yang terjadi?” kata Saipul.
Desakan Investigasi dan Evaluasi
FORMAT Banten mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Jika proyek ini murni untuk kemajuan desa, mengapa harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak transparan dan penuh tekanan?” cetus Saipul.
Ia juga meminta Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri segera mengevaluasi kebijakan ini agar tidak menjadi celah bagi praktik korupsi yang merugikan desa-desa di Kabupaten Serang.
Masyarakat pun berhak mendapatkan kejelasan: apakah proyek ini benar-benar untuk digitalisasi desa atau sekadar proyek bancakan yang dikemas dengan embel-embel modernisasi?
(Redaksi)- ( day )